Selasa, 18 Januari 2011

Sistem Nilai, Budaya, dan Sikap

A. Sistem Nilai
Sistem : seperangkat komponen, elemen, unsur atausubsisten dengan segala atributnya, yang satu sama lain saling berkaitan, pengaruh-mempengaruhi dan saling tergantung sehingga keseluruhannya merupakan suatu kesatuan yang terintegrasi atau suatu totalitas, serta mempunyai peranan atau tujuan tertentu.
Nilai berasal dari kata value (inggris) yang berasal dari kata valere (latin) yang berarti : kuat, baik, berharga. Dengan demikian secara sederhana, nilai (value ) adalah sesuatu yang berguna. Beberapa pengertian tentang nilai diberikan sebagai berikut :
Nilai adalah sesuatu yang berharga, baik dan berguna bagi manusia. Nilai adalah suatu penetapan atau suatu kualitas yang menyangkut jenis dan minat. Nilai adalah suatu penghargaan atau suatu kualitas terhadap suatu hal yang dapat menjadi dasar penentu tingkah laku manusia.
Ciri-ciri dari nilai adalah sebagai berikut /
• Suatu realistik abstrak
• Bersifat normatif
• Sebagai motivator (daya dorong) manusia dalam bertindak.
.Dalam filsafat pancasila juga disebutkan bahwa ada 3 (tiga) tingkatan nilai, yaitu nilai dasar, nilai instrumental, dan nilai praktis.
1.nilai dasar
Nilai yang mendasari nilai instrumental. Nilai dasar yaitu asas-asas yang kita terima sebagai dalil yang bersifat sedikit banyak mutlak. Kita menerima nilai dasar itu sebagai sesuatu yang benar atau tidak perlu dipertanyakan lagi.
2.Nilai instrumental
Nilai sebagai pelaksanaan umum dari nilai dasar. Umumnya berbentuk norma sosial dan norma hukum yang selanjutnya akan terkristalisasi dalam peraturan dan mekanisme lembaga-lembaga negara.
3.Nilai praksis
Nilai yang sesungguhnya kita laksanakan dalam kenyataan. Nilai praksis sessungguhnya menjadi batu ujian, apakah nilai dasar dan nilai instrumental itu benar-benar hidup dalam masyarakat indonesia.
Nilai-nilai dasar dari pancasila tersebut adalah nilai ketuhanan yang maha esa, nilai kemanusiaan yang adil dan beradab, nilai persatuan, nilai kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan dan nilai keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia.
. Norma atau kaidah adalah aturan pedoman bagi manusia dalam berperilaku sebagai perwujudan dari nilai. Nilai yang abstrak dan normatif dijabarkan dalam wujud norma. Sebuah nilai mustahil dapat menjadi acuan berperilaku kalau tidak diwujudkan dalam sebuah norma.
Akhirnya yang tampak dalam kehidupan dan melingkupi kehidupan kita adalah norma. Norma yang kita kenal dalam kehidupan sehari-hari ada 4 (empat), yaitu sebagai berikut :
1.Norma agama
2.norma moral (etik)
3.norma kesopanan
4.norma hokum

Moral secara istilah adalah nilai-nilai atau norma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Sedangkan moralitas adalah sifat moral atau keseluruhan asas dan nilai yang berkenaan dengan baik dan buruk. Sedangkan istilah amoral berarti tidak berhubungan dengan konteks moral, di luar suasana etis dan non moral, sedangkan immoral berarti bertentangan dengan moralitas yang baik atau secara moral buruk atau tidak etis. Dalam kamus yang berkembang di indonesia, amoral berarti immoral dalam pengertian di atas dan pengertian immoral sendiri kurang dikenal.
B. Pengertian budaya dan kebudayaan
Budaya itu sendiri memiliki pengertian sebagai sarana yang dihasilkan melalui penggunaan cipta rasa dan karsa. (koentjoroningrat).
Budaya berasal dari kata ‘budhi’ yang artinya adalah sebagai suatu kemampuan yang dimiliki oleh setiap manusia untuk merespon pengaruh dari lingkungan alam dan sosial. Hasil dari respon itulah yang disebut sebagai budaya.
C. Sikap dan prasangka
Sikap menurut morgan (1966) adalah kecenderungan untuk berespons, baik secara positif dan negatif terhadap orang, objek atau situasi.
dalam sikap terkandung suatu pernilaian emosional yang dapat berupa suka, tidak suka, senang, sedih, cinta, benci dan sebagainya. Dalam sikap ada “suatu kecenderungan berespon” .
Sikap memiliki komponen-komponen :
1. Kognitif : memiliki pengetahuan mengenai objek sikapnya, terlepas pengetahuan itu benar atau salah
2. Afektif : mempunyai evaluasi emosional (setuju-tidak setuju) mengenai subjek sikapnya.
3. Konatif : kecenderungan bertingkah laku bila bertemu dengan objek sikapnya, multi dari bentuk yang positif (tindakan sosialisasi) sampai pada yang sangat aktif (tindakan agresif)

Masalah-masalah social
Blumer (1971) dan thompson (1988) mengatakan bahwa yang dimaksud dengan masalah sosial adalah suatu kondisi yang dirumuskan atau dinyatakan oleh suatu entitas yang berpengaruh yang mengancam nilai-nilai suatu masyarakat sehingga berdampak kepada sebagian besar anggota masyarakat dan kondisi itu diharapkan dapat diatasi melalui kegiatan bersama. Entitas tersebut dapat merupakan pembicaraan umum atau menjadi topik ulasan di media massa, seperti televisi, internet, radio dan surat kabar.
Mengamati masalah-masalah sosial, stark (1975) membagi masalah sosial menjadi 3 macam yaitu :
(1) konflik dan kesenjangan, seperti : kemiskinan, kesenjangan, konflik antar kelompok, pelecehan seksual dan masalah lingkungan.
(2) perilaku menyimpang, seperti : kecanduan obat terlarang, gangguan mental, kejahatan, kenakalan remaja dan kekerasan pergaulan.
(3) perkembangan manusia, seperti : masalah keluarga, usia lanjut, kependudukan (seperti urbanisasi) dan kesehatan seksual.
.
Sebab lain adalah karena patologi sosial, yang didefinisikan oleh blackmar dan gillin (1923) sebagai kegagalan individu menyesuaikan diri terhadap kehidupan sosial dan ketidakmampuan struktur dan institusi sosial melakukan sesuatu bagi perkembangan kepribadian. Hal ini mencakup : cacat (defect), ketergantungan (dependent) dan kenakalan (delinquent).
Para penganut perspektif patologi sosial pada awalnya juga beranggapan bahwa masalah sosial dapat dilakukan dengan cara penyembuhan secara parsial berdasarkan diagnosis atau masalah yang dirasakan. Tetapi akhirnya disadari bahwa penyembuhan parsial tidak mungkin dilakukan karena masyarakat merupakan satu kesatuan yang saling terkait dan permasalahan bersifat menyeluruh.
Jika ruang lingkup masalah patologi sosial lebih mikro dan individual, maka dari perspektif “disorganisasi sosial” menganggap penyebab masalah sosial terjadi akibat adanya perubahan yang cukup besar di dalam masyarakat seperti migrasi, urbanisasi, industrialisasi dan masalah ekologi
Dengan memperhatikan perbedaan lokasi suatu daerah, park (1967), menemukan bahwa angka disorganisasi sosial dan timbulnya masalah sosial yang tinggi ada pada wilayah yang dikategorikan kumuh akibat arus migrasi yang tinggi, dan hal ini diperkuat dengan pendapat faris dan dunham (1965), bahwa tingkat masalah sosial lebih tinggi di pusat kota secara intensitas dan frekuensi dibandingkan daerah pinggiran.
Disamping itu industrialisasi-pun (selain memberikan dampak yang positif) juga memberikan dampat yang negatif pada suatu masyarakat. Penelitian yang dilakukan oleh mogey (1956) menjelaskan bahwan pertumbuhan industri kendaraan bermotor di kota oxford menjadikan biaya hidup di kota tersebut menjadi tinggi yang pada akhirnya akan mendorong buruh menuntut peningkatan upah kerja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar